Dari Data Mentah Menjadi Senjata Bersaing

Writing by shelma on Monday, 30 of March , 2009 at 2:09 pm

Beberapa perusahaan Indonesia telah memanfaatkan solusi business intelligence untuk mengoptimalkan pemanfaatan data yang mereka miliki. Keunggulan kompetitif apa yang bisa dinikmati?

Enam bulan terakhir Jaya Saminta (35 tahun) merasa ritme kerjanya lebih enak dan optimal. Sebagai manajer pengembangan account perusahaan jasa logistik, kini ia bisa lebih cepat dan yakin dalam mengambil keputusan. Maklum, kepadanya kini diberikan fasilitas pelaporan yang cepat, selalu up-to-date dan mudah diperoleh. Kapan saja ia membutuhkan, informasinya bisa diperoleh cukup dengan mengklik komputer di mejanya. Semua sudah tersedia di portal intranet perusahaan, disajikan dalam grafik dan tabel yang rapi, menarik dan lengkap.

Kini, Jaya juga bisa dengan mudah melihat tingkat profitabilitas masing-masing pelanggan. Imbasnya, ia dapat merumuskan strategi penarifan (termasuk strategi diskon) lebih baik bagi masing-masing pelanggan. Tak perlu lagi ia mengumpulkan dan menghitung sendiri satu per satu data. Jaya hanyalah satu dari sekian banyak orang di perusahaannya yang kini merasakan manfaat, setelah tahun lalu perusahaannya memanfaatkan solusi pintar berbasis teknologi informasi (TI) yang lazim disebut sistem business intelelligence (BI).

Dalam 1-2 tahun terakhir memang makin banyak perusahaan di Indonesia, khususnya perusahan besar, yang mengimplementasi sistem BI. Nampaknya para pebisnis makin menyadari, di tengah iklim persaingan yang makin ketat, dituntut kemampuan mengambil keputusan lebih cepat dan akurat. Terlambat sedikit saja bisa berakibat lenyapnya peluang dan kerugian besar. Maka, keberadaan sistem TI yang mampu menyajikan informasi secara detail, lengkap dan cepat semakin diperlukan. Apalagi kenyataanya dalam sebuah perusahaan, data yang harus dianalisis begitu kompleks dan melibatkan banyak divisi/departemen.

Alasan itu yang nampaknya melecut sejumlah perusahaan di Indonesia untuk mengimplementasi BI. Misalnya dilakukan Bank Central Asia, Bank Niaga, PT Excelcomindo Pratama, PT Asuransi Allianz Utama Indonesia (AAUI), PT Sequis Life dan PT Hasjrat Abadi. Sederet perusahaan itu menghadapi kenyataan bahwa profitabilitas pelanggannya amat beragam. Sesuai dengan Hukum Pareto, mereka harus tahu mana 20% pelanggan yang paling kontributif terhadap pendapatan perusahaan dan mana yang marginal. Juga, harus tahu mana pelanggan yang harus lebih diperhatikan dan mana layanan yang sebaiknya dipangkas.

Kasus menarik bisa dilihat di AAUI — perusahaan asuransi umum dalam Grup Allianz — yang menerapkan solusi BI sejak tahun 2000. Bisnis AAUI cukup kompleks. Jasa asuransi yang ditanganinya meliputi asuransi properti (rumah, gedung), mobil, usaha, huru-hara, kebakaran, kelautan (marine), konstruksi (engineering) , dana pensiun, dan sebagainya. Jumlah cabang, agen, broker yang dikelola puluhan, dan otomatis jumlah klien juga banyak sehingga data yang dimiliki AAUI pun kompleks.

Sebelum BI diterapkan, ada sejumlah persoalan yang sering muncul, terutama masalah kecepatan pengambilan keputusan dan akurasi informasi yang tersedia. Misalnya dalam kasus ketika bagian underwriting ingin menganalisis sebuah order perlindungan asuransi baru dari perusahaan yang sudah pernah menjadi klien. Tim underwriter harus mencari data historis dengan cara mengompilasi semua data dan kemudian menyeleksi satu per satu secara manual. Sudah tentu pekerjaan ini melelahkan dan butuh waktu lama. Selain itu, melibatkan pula unit kerja lain baik di kantor pusat maupun kantor cabang. Bahkan tak jarang, melibatkan broker atau agen. Prosesnya lama, karena belum ada informasi memadai yang sewaktu-waktu bisa langsung dipakai.

Keterlambatan dan kelangkaan informasi juga menjadi masalah bagian klaim. Ketika BI belum diimplementasi, mereka kesulitan — atau setidaknya butuh waktu lama — untuk mengetahui posisi penyelesaian klaim, baik di tingkat nasional maupun cabang-cabang. Karyawan yang bersangkutan sulit mengetahui berapa besar persentase klaim yang bisa dibereskan dalam 30 hari dan mana yang memakan waktu lebih lama. Padahal ini soal penting, sebab menyangkut kualitas pelayanan, apalagi buat pelanggan besar.

Memang waktu itu bisa saja mengetahui standar rata-rata kecepatan klaim di semua cabang dan industri, tapi harus dihitung secara manual sehingga butuh waktu lama dan rumit. Itu pun datanya belum tentu akurat. Maklum, data yang tersedia masih mentah dan belum spesifik sesuai dengan kebutuhan masing-masing unit bisnis (divisi). “Sistem TI kami waktu itu sudah menyimpan semua data, tapi masih berupa flat data. Jadi ya sekadar data, belum informasi,” tutur Erwin Purwadarma, CIO AAUI.

Dengan alasan itu, tahun 2000 AAUI mengimplementasi BI. Untuk mengimplementasi BI, menurut Erwin, biayanya relatif tak mahal. Pasalnya, BI lebih terkait dengan sistem pelaporan sehingga hanya butuh mesin pintar yang berfungsi menganalisis dan mengelompokkan data. Engine-nya tak lain berupa peranti lunak yang kini cukup tersedia pilihan vendornya, baik asing maupun buatan software house lokal.

Menurut Erwin, yang mahal justru investasi untuk membangun kesiapan sistem sebelum proses implementasi BI. Misalnya, membangun lebih dahulu sistem enterprise resource planning (ERP) yang di dalamnya ada sistem data warehousing sebagai komponen BI. Dalam analogi Erwin, bila sistem ERP ada di hulu, letak sistem BI di hilirnya. “Jadi, BI merupakan solusi yang sifatnya pengembangan lebih lanjut,”? ujarnya.

Karena lebih sebagai proyek pengembangan, Erwin mengungkapkan, implementasi BI di AAUI hanya memakan waktu dua minggu. Apalagi ketika itu AAUI hanya meminta kepada Microsoft, vendor sekaligus konsultannya, untuk membuatkan prototipe awal. Adapun model berikutnya dikembangkan sendiri oleh tim internal secara bertahap. “Paling-paling biayanya karena harus beli lisensi SQL Server dan biaya konsultan untuk buat prototipe pertama. Kontraknya hanya US$ 10 ribu,” Erwin berterus terang.

Untuk menjalankan sistem BI, AAUI membeli software Microsoft Data Analyzer 3.5, sebagai mesin untuk menganalisis semua sumber data yang dibutuhkan masing-masing unit bisnis. Lalu, dari situ semua data disatukan dalam satu server database, Microsoft SQL Server 2000. Sumber datanya sendiri bisa dari bermacam-macam aplikasi, baik di cabang, aplikasi yang terhubung dengan para broker, maupun aplikasi front-end lainnya.

Data “mentah”? yang terkumpul di server database dikirimkan ke sistem online analytical processing agar bisa menjalani analisis isi lebih lanjut. Kemudian, semua informasi diekstraksi dari database SQL Server menggunakan Microsoft SharePoint Portal Server 2001. Nah, hasil proses itu berupa informasi siap pakai yang kemudian dimunculkan di portal intranet yang bisa dibaca para staf atau siapa pun di unit bisnis yang terkait. Sebagian informasi penting dan relevan itu juga bisa diakses lewat ekstranet oleh para broker dan agen.

Sekarang, semua divisi bisnis di AAUI bisa menikmati informasi “matang”? yang disajikan BI. Mulai dari bagian underwriting, klaim, reasuransi, hingga bagian keuangan. “Tentu kebutuhan dan informasi apa saja yang disajikan buat masing-masing bagian berbeda-beda, ” Erwin menjelaskan. Dari sistem BI itu diketahui secara lengkap, profil risiko bisnis berdasarkan channel bisnis: broker, agen dan cabang. Juga, tingkat persebaran risiko dan profil premi nasabah, bahkan premi dalam hitungan per hari dan perbandingannya dari hari ke hari.

Berkat BI, manajemen AAUI dapat mendeteksi 10 account pemberi kontribusi terbesar terhadap jumlah klaim dan juga terbesar dari segi nilai premi. Sebagai contoh, divisi underwriting kini dengan mudah mengalkulasi risiko. Ketika terjadi gempa di beberapa daerah — di mana terdapat beberapa objek asuransi AAUI — dengan cepat bisa diketahui besarnya potensi risiko di daerah-daerah itu. BI juga memudahkan analisis akumulasi risiko dilihat dari berbagai sudut pandang, bisa berdasarkan cabang, segmen industri (properti, otomotif, konstruksi, dan lain-lain), tingkat premi, dan sebagainya. “Dari informasi itu bisa dirumuskan strategi meng-cover-nya termasuk strategi reasuransinya, ” timpal Mayun Subaia, Manajer Reasuransi AAUI.

Divisi klaim lain lagi. Informasi tingkat kecepatan menangani klaim akan mudah mereka dapatkan. Mulai dari pertanyaan berapa dan siapa saja yang selesai dalam 30 hari dan mana saja yang lebih dari 30 hari. Juga, mendeteksi posisi polis yang diterbitkan. Memang, berkat BI mudah diketahui mana dan berapa persentase (plus jumlahnya) penerbitaan polis yang selesai dalam seminggu, dua minggu, sebulan, dan seterusnya.

Tentu, implementasi BI dengan segala manfaatnya itu tak hanya bisa dirasakan perusahaan keuangan dengan proses bisnis relatif rumit seperti AAUI. Contoh lainnya, PT Hasjrat Abadi (HA) yang menggeluti bisnis distribusi dan perdagangan produk otomotif (mobil, motor, suku cadang, aksesori, pelumas), elektronik, bahan bangunan, dan sebagainya. Sebelum memanfaatkan solusi BI, HA juga dihadapkan pada permasalahan informasi yang belum teratur dan terukur, sementara data yang ditangani lumayan kompleks.

Bayangkan. Salah satu raja bisnis di Indonesia Timur ini memiliki tak kurang dari 20 pemasok (prinsipal) dengan 3 ribu item produk. Wilayah yang harus ditangani begitu luas. HA punya 43 titik pelayanan (18 cabang, sisanya gerai dan kantor perwakilan) di Indonesia Timur, yang tersebar di 29 kota. Belum lagi, prinsipalnya meliputi nama besar: Yamaha, Toyota, Uchida, Samsung, Pennzoil, Intirub, Yanmar, Danapaint dan Dunlop — yang tentu saja menuntut produknya dikelola dengan benar.

HA ingin punya punya sistem informasi yang baik, terutama yang bisa digunakan divisi penjualan dan divisi persediaan barang (stok). Namun, yang tak kalah penting, menurut Dwiana Achmad Asrorie, Manajer Senior TI HA, adalah informasi untuk divisi account receivable, yang mengurusi tagihan dan piutang. Maklum, banyak pembayaran dari pelanggan yang menggunakan model term of payment, sehingga penting mengetahui posisi tagihan dan piutang. Tentu, ini termasuk pula informasi untuk memantau posisi cash flow perusahaan dari waktu ke waktu. Sebelumnya HA memang sudah punya data, tapi diakui Dwiana, masih kasar dan belum “bicara”?.

Dengan alasan itu, Grup HA yang beromset triliunan rupiah per tahun, mencoba mengimplementasi BI sejak awal 2004. Untuk itu, HA menggandeng PT Realta Cakradharma — pengembang lokal — sebagai konsultan sekaligus vendor. HA memilih RIEL EIS (Executive Information System) — nama solusi BI dari Realta Cakradharma. Untungnya, sebelum menerapkan BI, HA sudah punya sistem data warehousing, sehingga di akhir 2003 semua data bisa terkumpul. Memang, seperti halnya AAUI, sebelumnya HA juga sudah mengimplementasi sistem ERP “â€Ŕ namanya: SAKTI 2000, yang juga dibuat Realta.

“Kini business intelligence kami sudah berjalan baik dan amat membantu, meskipun tetap butuh penyempurnaan, “? papar Dwiana. Informasi hasil olahan BI-nya juga dimunculkan di portal intranet. Berkat BI, staf HA yang bersangkutan, bisa dengan mudah melihat detail pekembangan stok, tingkat perputaran masing-masing produk, penjualan tiap produk di tiap kota, serta posisi persediaan dari waktu ke waktu. “Kini juga mudah mengetahui posisi piutang dan melihat siapa pelanggan dan besaran nilainya,” lanjut Dwiana.

Gambaran menarik bisa dilihat dalam hal manajemen stok/inventori. Dengan informasi dari BI, gampang diketahui produk-produk yang kurang menjual. Dari situ bisa dilakukan strategi berikutnya, mulai dari membuat promosi khusus buat produk itu atau bermitra dengan perusahaan multifinance misalnya dengan cara menyubsidi uang mukanya ataupun mendiskon harga. Alhasil, kelebihan stok bisa dikurangi. “Jadi informasi yang dikeluarkan memang penting dan kini sistem TI pelan-pelan jadi andalan,” Dwiana yang alumni Teknik Elektro UGM ini menegaskan.

Yang menarik di HA, selain sebagai tool untuk informasi pemasaran, BI juga merupakan instrumen kontrol. Ini hal penting, karena operasional bisnis HA ada di Indonesia Timur, sementara kantor pusatnya di Jakarta. Seandainya ada pelanggan yang punya piutang 30 hari tapi belum bayar, masih diberi kesempatan order barang lagi, maka sistem BI dengan mudah mengetahuinya. Selanjutnya, teguran dan peringatan bisa dikirimkan dari Jakarta.

Meski AAUI dan HA sama-sama memanfaatkan BI, masing-masing punya keunikan dalam mengatur penggunaannya. Contohnya, di HA informasi dari BI hanya bisa diakses kantor pusat, dan itu pun oleh karyawan level manajer ke atas. Informasi BI di HA sifatnya memang lebih makro dan konsolidatif, sementara kantor cabang sudah punya aplikasi sendiri. Adapun di AAUI, informasi dari BI bisa diakses hingga level operasional bawah, tentunya sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Perbedaan lainnya, pengumpulan data di HA belum semuanya online. Masih ada data yang dikumpulkan secara batch, disebabkan infrastruktur komunikasi di Indonesia Timur belum memungkinkan. Meskipun ada data yang dikumpulkan lewat e-mail, HA tak menerapkan proses reentri data melalui tangan manusia, karena pengirimannya ke sistem database sudah otomatis. Adapun di AAUI, pengumpulan semua data sudah online dan real time.

Erwin mencatat, dalam proses implementasi BI, yang terpenting dan memakai waktu paling lama adalah penyiapan sistem data warehouse dan menyesuaikan dengan kebutuhan business user. “Yang lama itu memetakan business requirement, sebab tiap departemen butuh 2-6 bulan,” tutur Erwin. Biasanya untuk membuat pelaporan BI yang baik, butuh meeting paling tidak tiga kali) antara tim TI dengan unit bisnis/divisi. Dalam rapat pertama, tim TI hanya mendengar apa yang diinginkan user. Setelah itu ada rapat kedua, dan bagian TI maju dengan membawa prototipe yang sudah 70% jadi. Lama antara meeting pertama dan kedua biasanya dua minggu. Dari meeting kedua itu biasanya langsung ada koreksi dan setelah itu diinstalasi di portal perusahaan.

Di HA lain lagi. Agar informasi dari BI sesuai dengan kebutuhan user, di tim TI ada orang khusus yang berfungsi sebagai analis bisnis, yang selalu membangun koordinasi dengan para user. Toh, tetap saja sebulan sekali ada meeting antara manajemen masing-masing unit bisnis dengan bagian TI dan kemudian dianalisis. “Kami punya tim kecil yang dua minggu atau sebulan sekali bertemu,” ujar Dwiana.

Erwin sendiri cukup puas dengan manfaat yang diperoleh dari implementasi sistem BI. Ia mengaku sistem TI di AAUI pernah dinilai oleh pihak ketiga dan dinyatakan bagus serta benar-benar memberikan nilai tambah. “Kami tak melakukan rekonsiliasi data, departemen yang satu tak perlu mencocokkan ke departemen lain karena datanya pasti sama,”? ujarnya. Ia juga membanggakan tingkat utilisasi sistem BI di perusahaannya. “Hampir setiap orang, mulai bekerja hingga pulang, sistem ini dibuka terus. Mereka memakainya,” kata Erwin senang.

Dengan BI, lanjut Erwin, informasi lebih tepat dan reliable. “Bila dulu kalau melihat data banyak orang yang masih ragu-ragu dan harus mencocokkan ini-itu, kini pasti benar karena prosesnya otomatis,” Erwin meyakinkan. Tak hanya itu, user tak perlu melakukan interpretasi lagi karena semua sudah jelas. “Dari sisi kecepatan jelas jauh lebih baik,”? tambahnya. “Dulu kalau mau minta data konsolidasi butuh waktu bulanan, saat ini tak perlu,” kata Erwin yang memimpin 7 staf di divisi TI.

Nampaknya, meski implementasi BI telah berjalan mulus, baik Dwiana maupun Erwin masih ingin terus mengembangkan BI di perusahaannya, sesuai dengan dinamika kebutuhan perusahaan masing-masing. “Kami tetap harus melakukan penyempurnaan dan memperkaya informasi, mungkin dari yang mingguan harus dibuat harian dan sebagainya,” ? ujar Dwiana. “Jadi, sekarang penyempurnaan lebih ke konten.”

Referency :

Artikel Bpk. Sudarmadi
Sumber:http://indri.blog.unair.ac.id/2009/03/30/dari-data-mentah-menjadi-senjata-bersaing/#more-15 11juni2009 jam19:11

1 komentar:

  Adi Wahyu Permana

9 April 2010 pukul 00.05

follow blog q jg y..


volkshymne.blogspot.com